Apa cara terbaik untuk menyelesaikan sengketa kelautan?
Berita ini disediakan oleh
National Institute for South China Sea Studies, China05 Des, 2024, 14:17 WIB
SANYA, Tiongkok, 5 Desember 2024 /PRNewswire/ -- Di 5th Symposium on Global Maritime Cooperation and Ocean Governance, diadakan oleh Huayang Center for Maritime Cooperation and Ocean Governance, National Institute for South China Sea Studies, China Oceanic Development Foundation, serta Hainan Free Trade Port Research Institute, berbagi perspektif tentang penyelesaian sengketa kealutan dan kerja sama kelautan. Menurut Profesor Philip Saunders dari Dalhousie University, Canada, sengketa atas sumber daya dan batas wilayah jarang diselesaikan lewat arbitrase. Sekalipun efektif menyelesaikan sengketa tersebut, arbitrase tak dapat menuntaskan seluruh aspek dari konflik. Wu Shicun, Chairman, Huayang Center for Maritime Cooperation and Ocean Governance, menilai, ketegangan di Laut Tiongkok Selatan terjadi akibat berbagai faktor.
Oh Ei Sun, peneliti asal Malaysia, memperjuangkan penyelesaian batas wilayah lewat dialog alih-alih konfrontasi. Salah satu keunggulan dialog sebagai cara penyelesaian sengketa, jika ada perbedaan, kepentingan bersama harus diutarakan demi meredakan ketegangan. Menurutnya, ketika para pejabat senior dari negara-negara yang bersengketa duduk bersama untuk bernegosiasi dan menetapkan mekanisme dialog, tiga hasil bisa tercapai: pertama, pihak-pihak yang bersengketa dapat mencapai kesepakatan bilateral; kedua, meski tidak ada kesepakatan bilateral yang tercapai, pihak-pihak yang bersengketa dapat menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa internasional; ketiga, sengketa belum terselesaikan dan teratasi ketika konflik baru muncul.
Yi Xianliang, mantan Duta Besar Tiongkok untuk Norwegia, menilai, sengketa dapat teratasi ketika kedua pihak yang bersengketa sama-sama mengutamakan pendekatan: "mekanisme" dan "aturan hukum". Mengenai mekanisme, dia menganjurkan berbagai negara agar merumuskan mekanisme tingkat tinggi yang dapat menghasilkan keputusan politik, serta mekanisme kerja sama sains dan teknologi. Mengenai aturan hukum, dia menegaskan, saat ini belum ada aturan hukum yang relevan di antara negara-negara pesisir, atau landasan untuk merumuskan aturan hukum tersebut. Maka, Yan YAN, akademisi National institute for South China Sea Studies, menganjurkan, negara-negara terkait harus menganggap isu keamanan maritim sebagai kepentingan maritim yang bersifat inklusif, bukan eksklusif. Dengan demikian, negara-negara tersebut bisa menjalin kerja sama maritim dan membangun sikap saling percaya sebelum sengketa dapat diselesaikan.
SOURCE National Institute for South China Sea Studies, China
Bagikan artikel ini